Penulis : Hendrik Akbar
Aktifitas perbankan yang kerap membuatnya letih namun terbayar karena tatapan buah hati saat dia pulang kantor tiba tiba berubah seakan terhalang dinding tinggi nan kokoh yang memaksanya tak bisa dibelai suami maupun membelai anak yang dia lahirkan Desember 2019 lalu. Itu semua terjadi setelah hasil tes usab (swab) Covid-19 menyatakan dia positif.
Kala itu, dia harus rela dan benar benar menerima kenyataan bahwa dia harus menjalani isolasi karena dinyatakan positif. Dia yang tanpa gejala itu disarankan untuk menjalani isolasi mandiri selama 14 hari.
“Anak saya titipkan di ipar saya. Dirumah saya menjalani isolasi mandiri. Saya ditemani suami tapi beda kamar dan selama isolasi, saya tidak bersentuhan dengan suami,” tutur ceritanya saat dihubungi Papua Barat Oke via ponselnya.
Selama isolasi berlangsung, makan minumnya disiapkan di depan pintu kamarnya. Peralatan makannya pun disiapkan khusus untuk dia gunakan sendiri. Terkadang, suaminya menyiapkan itu semua di depan pintu kamar dan hanya mempersilahkannya saja.
Meski terbayang rasa sedih karena terpisah dari anak dan tidak bisa bersentuhan langsung dengan suami, dia tetap menjalani dan mentaati anjuran yang disampaikan dokter dan tenaga medis, baik itu istirahat yang cukup, makan yang teratur, mengkonsumsi buah dan juga berolahraga secara rutin.
“Selama isolasi, itu yang saya lakukan. Jika konsultasi, saya langsung hubungi dokter atau perawat karena mereka sudah menyiapkan nomor kontak untuk dihubungi,” ungkapnya.
Saat dinyatakan Positif, yang terbayang olehnya hanya rasa takut dan sedih. Takut untuk menularkan ke orang lain dan sedih karena harus pisah dengan anak dan suami. Bahkan, seminggu setelah dinyatakan negatif/sembuh, dia belum berani menyentuh anaknya.
“Saya 4 kali swab. 3 kali di puskesmas dan 1 kali di RSAL. Setelah dinyatakan negatif, saya benar benar takut untuk menyentuh anak karena takut menularkan. Sekarang saya sudah bisa mengurus anak dan suami,” ungkapnya.
Dibalik cerita dan pengalaman selama diisolasi itu dia merasa peran para tenaga medis benar-benar totalitas berada di garis terdepan.
“Mereka (Tenaga Medis) yang rela meninggalkan keluarga demi menyembuhkan pasien, mereka yang rela berpanas panasan menggunakan APD dan mandi berulang kali sehabis menangani pasien, mereka yang rela lebih lama dengan pasien ketimbang keluarga dan mereka yang tak takut positif demi menyembuhkan pasien harus diapresiasi oleh seluruh masyarakat”
“Terimakasih untuk dokter dan perawat yang rela meninggalkan keluarga untuk membantu orang-orang agar sembuh dari covid. Perjuangan mereka untuk kita patut dihargai. Untuk masyarakat lain, hargailah perjuangan para tenaga medis. Mereka juga punya keluarga, tapi mereka tidak meninggalkan tugas,” tuturnya.
Dia juga mengingatkan masyarakat bahwa Covid-19 itu benar-benar ada di antara kita dan jangan pernah menganggap remeh atau tidak percaya.
Waspadalah bagi dia adalah kunci, meski terlihat sehat. Sebab, sekalipun sehat, kita bisa membawa virus dan menularkan kepada orang yang mungkin kurang sehat dalam hal imunitas.
“Jangan sampai kita menjadi orang yang membahayakan orang lain. Memang kita sehat, tapi bagaimana jika orang lain terjangkit karena kita lalu imunnya lemah. Apakah kita tidak merasa berdosa sebagai manusia? Maka dari itu, jujur lah kepada diri sendiri dan pemerintah agar mendapat penanganan yang terbaik dan memutus penyebarannya,” sarannya, sembari memotivasi pasien yang mungkin masih dalam tahap isolasi.
“Kalau positif, semangatlah untuk sembuh dan jangan putus asa karena imun kita bergantung pada pikiran kita,” pesannya.
[**]